Jumat, 25 April 2014

Lomba Memisahkan Biji-Bijian


Saat menjemput anakku sore itu di sekolah. Memang saya terasa lelah habis bekerja.  “Bu, mbak Dina jadinya terpilih ikut lomba”, kata guru anakku. Aku tersenyum mengambang dan berkata “Oh, ya?”. Lelahku seakan berkurang.
Aku menenteng tas anakku dan membawa keranjang bekalnya. Sementara si kecil berdiri di sampingku sambil sesekali menarik-narik telunjukku dan bersikap manja. Nampaknya dia menyimak pembicaraanku dengan bu gurunya itu. Aku langsung menanyakan teknis detail mengenai lomba. Ternyata lomba memisahkan biji-bijian.Ya, lomba yang terkesan sangat sederhana.
 Jadi, teknisnya ada 3 jenis biji yaitu kedelai hitam, kacang tholo, dan jagung. Ketiga jenis biji itu dicampurkan di sebuah tampah. Kemudian disediakan tiga botol ukuran sekitar 300 ml. Nah, tugas peserta lomba memilah dan misahkannya. Trus memasukkan biji-biji itu pada tiga botol yg disediakan berdasarkan jenisnya.
Aku mengira-ngira, lomba ini sengaja disetting untuk melatih ketelitian dan kecepatan peserta lomba dalam memisahkan biji. Dan pastilah kuantitas dan teknik pemisahan jadi item yg dinilai. Pikiranku mulai berkelana meraba-raba sebuah teknik yg tepat untuk si kecil.
Tak lama kemudian, baru sampai depan gerbang sekolah, si kecil berceloteh, “Mi, ayo beli biji-bijian!”. Dia mulai merengek tak karuan. Semangatnya mulai meletup-letup. Melihat hal itu, saya merasa harus lebih bersemangat daripada si kecil. Pihak guru meminta agar latihan sendiri di rumah, sama orangtuanya.
“Ayo mi, beli biji-bijian!”, si kecil masih merengek lagi. Saat masih perjalanan dari sekolah ke rumah. Batinku awalnya  mengatakan “ah, nunggu ayahnya si kecil pulang dulu. Biar dianterin, kan jalannya rame banget kalau sore-sore gini. Nyebrangnya lama”.
Tapi si kecil masih kekeh untuk beli biji-bijian sore itu juga. Yaaah..saking semangatnya itu. Akhirnya ku jawab, “Iya mbak..., tapi kita pulang dulu ya. Naruh tas. Habis itu beli”. Sejurus kemudian, dia tersenyum lebar dan semakin riang.
Ku tengok jam dinding rumah. Jam 16.50. Akhirnya ku putuskan untuk beli saat itu juga. Kalau nunggu suami nganterin, mungkin malam harinya, dia baru bisa, karena sore itu suami belum pulang.

Akhirnya, aku beli ketiga jenis biji-bijian itu. Sepanjang perjalanan menuju toko, si kecil ngomong terus tak habis-habisnya. Sesampainya di rumah, si kecil langsung minta latihan.
Berbagai teknik ku coba terapkan. Pokoknya aku mencari teknik yg cepat sesuai kondisi si kecil. Mulai dari kata gurunya, di ambil yg sejenis kemudian digengggam di tangan kirinya. Baru kemudian dimasukkan ke botol. Sampai teknik satu-satu. Kalau teknik yg genggam ternyata si kecil tidak bisa cepat karena begitu genggaman di tangan kirinya banyak biji, satu dua terjatuh. Nah inilah yg membuat lama. Dia malah sibuk mengambili biji-biji yg terjatuh tadi.
Akhirnya, seiring bergantinya hari. Kuputuskan untuk memakai teknik satu satu. Ngambil satu biji yg sejenis trus langsung masuk ke botol. Satu yg sejenis masuk botol. Begitu seterusnya. Ternyata teknik ini lebih aman, tidak terjatuh bijinya. Si kecil juga bisa semakin cepat dan biji yg berhasil dipilahkan semakin banyak.
Sabtu, 19 April 2014
Jauh hari saya sudah mengajukan cuti kerja sehari pada tanggal itu. Sengaja, agar bisa menemani si kecil lomba. Memang lomba yg sederhana. Sekali lagi, sederhana. Bahkan sangat sederhana.  Ini hanya lomba dalam rangka Gebyar PAUD se-kecamatan. Ya, hanya tingkat kecamatan, bukan tingkat kabupaten. Bagi sebagian ibu yg anaknya sudah besar, mungkin akan menganggap hal-hal seperti ini biasa. Tapi, tidak bagi saya, sebagai seorang ibu muda.
Punya anak yang pertama dan ikut lomba merupakan sensasi tersendiri.  Pagi itu aku menyiapkan satu per satu bekal si kecil dibantu suami tentunya. Walau agak terburu-buru tapi sangat kunikmati pagi hari menjelang lombanya.
Saya dan suami sepakat, kalau saya tidak muncul saat lomba berlangsung. Kalau saya menyaksikan lomba, dari kejauhan supaya si kecil tidak tahu kalau saya ada. Memang si kecilku itu sering berlagak manja kalau sama saya. Kami hanya khawatir kalau-kalau dia memakai rumusnya lagi “pokoknya sama umi” itu. Apa-apa kudu sama umi.
Nah, akhirnya si kecil diantar suami ke sekolah. Biar berangkat bareng-bareng sama teman-temannya yg lain yg ikut lomba beserta gurunya. Sementara saya di rumah, melakukan pekerjaan rumah tangga yg belum kelar. Sambil menunggu dijemput suami menuju tempat lomba. Saya menyempatkan shalat Dhuha sejenak, tentunya mendoakan si kecil yg akan maju lomba. Agar diberi kemudahan, kelancaran, dan menang.
Tak lama kemudian, suami datang. Aku tak berhenti melontarinya berbagai pertanyaan. Mulai dari Dina gimana, udah sampai tempat lomba belum, udah ini belum, udah itu belum, hah pokoknya banyak. Biasa agak cerewet kalau ngomong sama suami, hehe.
Yak, saya diboncengin suami menuju tempat lomba. Tak jauh sih dari rumah. Boncengan berdua walau sudah punya anak satu, alhamdulillah masih terasa mesra bersamanya.
Nyampai di tempat lomba. Aku mulai menikmati suasana. Terdengar suara celoteh anak-anak PAUD.  Tingkah dan polah mereka menggemaskan. Sempat melihat ada yg mau ikut lomba melukis pake cat air. Tapi si anak malah melempar cat itu, dan berkata “Nggak mau!”. Geli rasanya melihatnya. Yaaahh..begitulah dunia anak-anak. Eit terlihat juga banyak guru  PAUD yg pakek jilbab-jilbab besar. Adem rasanya di hati.  Tapi  saya juga melihat ada peserta  dari PAUD Kristen.
Tak lama kemudian, lomba memisahkan biji-bijian pun berlangsung. Salah seorang panitia memanggil sebuah nama, “Kamila Dinnaila Mujahid”. Wah itu anakku. Aku langsung berdiri bersemangat sambil tersenyum bahagia. Panitia mulai mengarahkan anakku menempati tempat yg disediakan.
Ku perhatikan tubuh anakku paling kecil di antara peserta di kloternya. Ada 14 peserta yg dibagi menjadi ehmm kalo nggak salah 3 kloter. Saat itulah aku menahan haru. Aku mengedip-ngedipkan mata agar air mataku tidak tumpah. Malu ah dilihat orang, masak mewek di tempat ramai. Malu juga kalo-kalo suami tahu. Hmmm...mungkin aku agak lebay tapi itulah yang saya rasakan. Sebuah letupan kebahagiaan seorang ibu.
Tak lupa, selama waktu yg disediakan panitia untuk lomba itu, aku tak berhenti berdoa. Sambil menyaksikan si kecil melakukan lomba. Yah, waktunya hanya 5 menit untuk memisahkan biji-bijian itu. Sementara suamiku sibuk mengabadikan momen itu dengan handphonenya. Mulai potret-memotret hingga memvideo.
Waktu hampir habis. Saya sempat agak was-was tapi memasrahkan semuanya pada Allah. Kulihat peserta nomer 4 terlihat biji-bijiannya melebihi biji-bijiannya anak saya. Ku lihat lagi ada seorang ibu yang mendekati anaknya kemudian membantu menyodorkan ketiga botol untuk anaknya. Hah, tapi biarlah. Saya hanya menyaksikan dari agak kejauhan.

Setiap gerak-gerik anakku kuperhatikan secara detail. Dia memakai teknik satu-satu yang kuajarkan. Lima menit sudah. Panita berteriak, “Waktunya sudah habis!” dan diikuti tepuk tangan yg riuh. Anak saya kaget, dan menumpahkan kembali isi botol ke dalam tampah. Artinya biji-bijian yg sudah dikumpulkan di botol pertama ditumpahkan lagi.
Kontan saya menyesal tindakan anakku itu. Sudah susah-susah memasukkan eh ditumpahin lagi. “Aduh, gimana mbak?”, batinku. Tapi saya berpikir, “Ah sudahlah!”
Karena insiden itu, akhirnya saya pikir mungkin anak saya tidak menang. Kalah. Tapi memang di awal kita sudah menyepakati “yang penting berusaha, menang kalah urusan nanti”.
Lomba berakhir, ku sambut anakku sambil menciumnya. Ku beri dia apresiasi atas apa yg sudah dilakukan. Meski saya sama suami sempat saling ngobrol “kenapa nggak begini? Kok begitu? Seharusnya pakek teknik ini mi...., bla bla bla”. Ujung-ujungnya ya “ah, sudahlah nggak harus menang”.
Kami muter-muter menyaksikan lomba yg lain. Ada lomba menangkap ikan, lomba bercerita, estafet, dan melukis. Subhanallah, indah sekali dunia anak-anak. Sempat berpapasan beberapa guru anak saya dan pengelola PAUDnya, menanyakan “gimana bu mbak Dina lombanya?”. Ku menjawab awal dengan judul, “dramatis”. Sambil batinku berkata, “Sepertinya tidak menang”.
Setelah puas muter-muter, kami memutuskan untuk pulang. Acara sepertinya sudah usai. Pesimis tidak menang, pulang ah kita. Nyampai rumah, saya masih terus mengapresiasi anak saya, saya katakan bahwa dia anak hebat dan sebagainya. Walau agak nyesek dan batin berkata, “sebenarnya umi pesimis, kamu kalah nduk”.
Beberapa jam berjalan, anak saya main di rumah. Suami tidur di kamar. Saya menemani anak bermain sambil sesekali menyambi pekerjaan rumah tangga. Tiba-tiba terdengar suara, dari pintu luar “Mbk Dina, mbak Dina, mbak Dina”. Trus terdengar suara klakson motor.

Wah ternyata pengelola PAUD dan anak ragilnya. Dia berkata dengan sumringah, “Mbak Dina juara dua!”. Hahhhhhhhhhhhhhhhh?????? Saya sedikit tak percaya. Ternyata benar dan dia membawakan hadiahnya.
Usai mereka pulang, aku langsung membangunkan suami yg baru saja tertidur, dan berkata, “Yah, Dina juara dua!!”. Suami saya terbangun dengan rasa sedikit tak percaya. Sebenarnya sama seperti yg kurasakan.
Sementara anak saya senyum-senyum menerima hadiahnya. Saya masih sedikit tak percaya, akhirnya aku sms gurunya , memastikan apakah benar anak saya menang juara 2 . Wah ternyata benar. Malah dapat hadiah lagi dari PAUDnya.
Tak lama kemudian, saya dan anak saya mengambil hadiahnya di PAUD. Dan beberapa guru mengucapkan selamat pada anak saya.
“Yah, tahunya Dina menang, kita tadi jane nggak usah pulang dulu ya?”, kataku pada suami. Maksudnya biar anak saya sendiri yg menerima hadiahnya. He he he...
Yaaaahhh begitulah sepenggal cerita catatan hati. Untuk anakku, “InsyaAllah, umi akan memberikan yg terbaik untukmu, nduk. Rasa sayang ini semoga bak cahaya mentari yg selalu bersinar di hatimu, selamanya”.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar