Jumat, 06 Januari 2012

DASTER HAMIL

 Dibuat oleh: Anjar Pujiyanti

14 Agustus 1998
Jam berada di angka enam. Putarannya seolah lambat bak diganduli malaikat. Darmi  terbaring lemas di kasur setelah satu jam sebelumnya muntah-muntah tiada henti. Wajahnya pucat pasi. Sesekali tangannya mengelus perutnya yang tengah hamil 4 bulan. Suara adzan maghrib telah bergema namun Parmin suaminya tak kunjung pulang.
Tiba-tiba terdengar suara salam di luar pintu, Darmi menyahut dan berharap itu adalah Parmin. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Darmi bangkit dari kasur dan membukakan pintu “Mas Parmin akhirnya kau pulang juga” desahnya dalam hati sambil menyungging senyum. Langkahnya sempoyongan sesekali telapak tangannya memegang dinding rumah untuk menahan badannya yang mencapai 55 kilogram itu. Pintu rumahpun dibuka oleh Darmi dan ia berdesah pelan “Mas Parminku...“. Sosok seorang bapak berkumis tebal, berpecis hitam, dan berbaju necis nyengir di depan pintu. Bapak berusia 45 tahun itu kaget bukan kepalang.
“O, pak RT maaf pak, saya kira suami saya. Ada apa ya pak? Mari silahkan masuk”
“Ndak apa-apa, bu Darmi. Di sini saja. Saya cuma sebentar kok bu. Ini mau ngasihkan surat pembayaran listrik. Paling lambat tanggal 16 ya bu”
“Ya pak RT, terimakasih”
Tak lama kemudian pak RT pergi. Darmi melihat surat pembayaran listrik berwarna hijau muda itu tertulis angka Rp 35.000,00. Darmi hanya menghela nafas panjang. Hanya buat lampu saja tagihannya sudah banyak bagi pasangan Darmi dan Parmin. Tidak ada TV, tidak ada setrika, tidak ada kran, tidak ada mesin cuci, ah apalagi oven. Bayaran kerja lima tahun Parmin bisa buat ditabung membeli semua itu tapi dengan syarat selama lima tahun itu tak makan. Darmi pun tak mikir pajak kendaraan bermotor karena memang tak punya kendaraan berasap itu. Hanya sepeda onthel yang biasa dipakai Parmin kerja sebagai buruh bangunan.
Perut Darmi mual lagi. Kali ini nyaris muntah tapi nggak jadi. Ini baru kali pertama pengalaman hamil bagi Darmi setelah 3 tahun menikah dengan Parmin. Dua menit kemudian terdengar suara deringan sepeda di luar sana, “Suamiku...“,  desahnya. Ternyata suara deringan sepeda itu berasal dari seorang tukang siomay yang lewat. Kecewa menyusup pada diri Darmi
Darmi mengusek-usek daster coklat yang ia kenakan. Nampaknya sudah 4 hari tidak ganti. Daster coklat itu bermotif bunga dengan bawahan panjang dan lengan panjang. Kainnya kusut di sana sini. Perlahan Darmi membuka lemari. Baju-baju yang ia punya sudah tak cukup lagi menampung perutnya yang kian hari kian membesar. Hanya ada satu daster itu .
Darmi menengok jam dinding. Nyaris setengah tujuh. Tak biasa Parmin terlambat seperti ini. Hati Darmi mulai resah. Tak ada handphone untuk komunikasi. Bagi Darmi mending uang buat beli beras untuk hidup daripada untuk hidup handphone dengan pulsanya.
Tiga menit kemudian Parmin pulang. Darmi membuncah bahagia. Hari ini suaminya gajian. Sebuah kalimat permintaan sudah Darmi rancang untuk Parmin. Kalimat sederhana dan logis dari seorang Darmi untuk Parmin yaitu: “Mas, belikan saya daster hamil ya?”
“Dik, kamu habis muntah-muntah lagi ya? Wajahmu pucat sekali”
“Iya mas. Sudah setengah tujuh, kenapa baru pulang? Ada apa mas? Biasanya jam 4 sudah pulang. Aku sudah menunggumu lama, mas”
“Iya dik, maaf. Tadi aku membantu orang yang kecelakaan. Tabrak lari di jalan sebrang sana. Aku bantu dia ke rumah sakit. Dia seorang anak SMP”
“Tapi mas Parmin nggak papa kan?” Darmi khawatir.
Bibir Parmin tersekat senyum
**
Pukul 20.00
“Mas, pajak listriknya habis 35 ribu. Dua hari lagi harus dibayar mas” Kata Darmi sambil memijat-mijat kaki Parmin.
Parmin hanya terdiam. Pikirannya melayang pada uang di saku celananya. Tinggal sepuluh ribu rupiah. Itu uang jatah makan besok pagi. Ia berpikir istrinya akan marah jika tahu ternyata gajinya dua hari enam puluh ribu rupiah digunakan untuk membantu anak SMP yang kecelakaan sore tadi. Hati Parmin bergejolak. Sesekali Parmin mencium bau yang tidak sedap. Bau itu berasal dari daster Darmi yang 4 hari tidak ganti. Sementara Darmi masih memijit-mijit kaki Parmin yang kelelahan. Mereka berdua terdiam. Masing-masing ingin menyampaikan sesuatu, Darmi dengan keinginan daster hamilnya dan Parmin dengan uang gajiannya. Tapi mereka berdua nampak menimbang-nimbang. Suasana mulai lengang hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak. Lima menit kemudian Darmi angkat bicara dengan perlahan mengungkap keinginannya. Kalimat sederhana dan logis itu muncul dari mulut Darmi “Mas, belikan saya daster hamil ya?”
Parmin menatap lekat-lekat wajah istrinya dan berkata “Dik, maaf uang gajianku tadi buat membantu anak yang kecelakaan. Aku kasian sekali sama dia. Dua hari lagi mas Parmin kerja lagi dan dapat enampuluh ribu lagi. Nanti buat jatah bayar listrik dan sisanya dua puluh lima ribu. Duapuluh untuk jatah makan dan lima ribu jatah buat nabung beli daster”.
Darmi tersenyum kecut. Sementara hatinya berteriak “Ikhlas, ikhlas, ikhlas...“. Ulu hati Parmin terasa sesak tak bisa memenuhi permintaan istrinya.
**
17 Agustus 1998
Pajak listrik telah dibayar. Subuh itu Parmin nampak bersemangat. Senyumnya mengambang. Ia mengenakan kaos biru, bercelana hitam, dan bersepatu olahraga. Ternyata ada lomba lari 5 km tingkat kelurahan yang diselenggarakan di desa sebelah. Umur Parmin yang berkepala tiga itu masih kuat kalau hanya untuk lari. Wajahnya berseri-seri. Karena juara I nanti akan dapat satu set kasur. Juara II akan dapat selusin daster hamil dan juara III akan dapat selusin piring. Lomba itu rencana akan diikuti 50 peserta dari perwakilan desa.
“Dik, doakan mas ya , semoga bisa juara II biar bisa dapat daster hamil”
“Kenapa tidak juara I mas?”
“Juara I hadiahnya kasur. Kasur kita masih cukup bagus kan? Yang penting mas bisa dapat daster hamil” Parmin mengelus perut Darmi yang kian hari kian membesar.
Parmin semangat 45. Haru mulai merasuki hati Darmi dan diam-diam ia berdoa untuk suaminya.
**
Matahari semakin meninggi. Parmin segera mengayuh sepeda dan memboncengkan istrinya. Sepeda itu sesekali mengkriet tak karuan karena menahan berat badan mereka yang lebih dari 100 kilogram. Jarak menuju tempat lomba berkisar satu kilometer. Cahaya matahari pagi membasuh wajah Parmin yang berseri-seri.
Lomba itu akhirnya dimulai. Memang benar 50 peserta termasuk Parmin. Ia sudah mengambil posisi start. Ia berada di tengah-tengah kerumunan peserta yang lain. Tak nampak oleh istrinya Darmi juga berada dikerumunan penonton yang lain. Lagi-lagi ia mengenakan daster coklat bermotif bunganya. Dalam hatinya tak henti berdoa untuk suaminya agar juara II.

Suara peluit telah ditiup. Dan kelimapuluh peserta mulai lari sekencang-kencangnya dari garis start. Matahari pagi menemani langkah cepat kaki Parmin. Kaki yang sering kelelahan setelah seharian bekerja sebagai buruh bangunan, kaki yang setiap malam dipijiti oleh Darmi. Parmin lari, lari, lari, dan lari. Dia lari sekencang dan sekuatnya. Dia mulai menyalip satu per satu peserta yang lain. Rambutnya mulai bosah-basih kemana-mana. Keringat mengucur ke segenap muka, leher, tangan, dan kakinya. Jantungnya berdetak kencang. Nafasnya ngos-ngosan. Dalam pikiran Parmin terngiang “Daster hamil, daster hamil, daster hamil”. Kemudian terbayang wajah istrinya mengenakan daster hamil baru dan wangi. Saat itu wajah Darmi terbayang di mata Parmin seelok bidadari dengan senyum tersungging di bibir merahnya.
Parmin sudah menempuh 4,5 kilometer, ini berarti setengah kilometer lagi. Saat itu hanya ada 4 peserta termasuk Parmin. Dia berada pada posisi ke empat menuju garis finish “Kalau juara 4 nggak dapat apa-apa, piring aja nggak dapat, apalagi daster”, pikir Parmin. Kemudian dia menambah kecepatan larinya. Nafasnya semakin ngos-ngosan Beberapa menit kemudian ia mampu menyalip 2 peserta yang lain.
Parmin berada di urutan kedua menuju garis finish. Dia saling salip dengan peserta yang berada di urutan kesatu. Wajah Darmi dengan daster barunya berkelebat di mata Parmin. Semangatnya seperti dicas. Tiga detik kemudian Parmin berada diurutan pertama. Seratus meter lagi menuju garis finish. Para penonton nampak riuh menyambut calon pemenang. Kedua mata Darmi nampak berkaca-kaca. Air matanya nyaris tumpah melihat suaminya menuju garis finish. Parmin ada di urutan pertama menuju garis finish hanya berjarak satu meter dari peserta di belakang Parmin. Dari kejauhan Darmi berteriak “Ayo mas Parmin!”
Limapuluh meter lagi, tiba-tiba Parmin mengerem larinya perlahan membiarkan peserta di belakangnya menyalip dan dalam hatinya berkata, “Aku tak mau juara I aku ingin juara II”. Wuuuz...peserta di belakang Parmin mulai menyalip, dia orang pertama yang menginjak garis finish dan kemudian disusul Parmin. Darmi menghela nafas panjang dan berjalan cepat menuju Parmin. Sambil ngos-ngosan Parmin berkata, “Daster hamil, daster hamil, daster hamil, dik”. Darmi tersenyum lega dan bahagia.
18 Agustus 1998
Darmi mengenakan daster hamilnya yang baru. Sekarang tak hanya satu miliknya. Sekarang Darmi memiliki 13 daster hamil. Wajah elok bak bidadari itu kenyataan terjadi dan dilihat oleh Parmin, wajah seorang Darmi.
Pintu rumah diketuk Parmin kedatangan tamu bupati. Ternyata anak SMP yang ditolong saat kecelakaan itu adalah anak seorang bupati. Parmin tercengang kaget dan tak menyangka sedikitpun. Bupati itu memberi sekarung beras makanan dan uang satu juta rupiah sebagai ganti uang enampuluh ribu yang dikeluarkan Parmin. Bupati itu tiada berhenti mengucap terimakasih atas kebaikan Parmin. Karena dia buah hatinya selamat. Hati Darmi dan Parmin bertasbih, bertahmid dan bertakbir tiada henti. Syukur mengiringi.
***

1 komentar: