Jumat, 06 Januari 2012

MASIH KORUPSI

 Dibuat oleh: Anjar Pujiyanti

Jam 07.45 pagi
"Masih korupsi, pa?"
"Hmmm... mau dibawa kemana bangsa ini?" Papa Villareal bertanya pada dirinya dan mama Monica. Sesekali ia merapikan dasinya yang necis. Pandangan matanya masih lekat-lekat melototi televisi mewah flat 30 inci. Geram.
"Papa aja yang pengusaha rajin membayar pajak penghasilan, pajak mobil, pajak motor, pajak bumi dan bangunan. Mama juga rajin membayar pajak listrik. Rakyat tuh banyak yang taat pajak. Tak jarang mereka membayar pajak sampai ngantri melebihi antrian beli tiket nonton Manchester United. Eh, uangnya kagak masuk kantong negara, malah masuk kantong koruptor" Mama Monica mengepalkan tangannya, mukanya merah menyala seolah keluar dua tanduk di kepalanya.
"Orang kayak gitu harusnya dihukum mati. Coba deh, kita pikir, korupsi puluhan milyar dipenjara hanya 5 tahun remisinya 2 tahun. Huh, apa kata dunia? Efek jeranya dimana? Nggak ada!" Mama ngomel-ngomel sendiri.
"Itu dia baru kelas teri, kalau ketahuan kelas pausnya lebih ngeri lagi, ma..."
"Iya, ya. Masih banyak yang belum terungkap. Memang nangkap pencuri uang negara lebih susah daripada nangkap pencuri ayam. Emang bener markus pajak kejahatan luar biasa. Kongkalikong melulu", sahut mama ketus.
"Papa sih penghasilannya nggak kalah sama PNS golongan IIIA, tapi kekayaan papa belum mencapai bermilyar-milyar. Baru jadi jutawan, belum milyarder" Papa Villareal duduk di sofa empuk sambil membesarkan volume televisi. Acara berita masih berlangsung.
"Iya, soalnya papa tuh hanya pengusaha roti, R-O-T-I. Roti. Coba kalo papa Bill Gates ya? Mungkin mama nggak perlu pagi gini siap-siap belanja, pasti punya kurir. Mama maunya pergi spa tiap hari, creambath di salon tiap sore, dan bangunnya agak siang gitu..."
Papa Villareal memandang aneh mama Monica. Terlihat garis-garis kemarahan di wajahnya. Sementara wajah khayal mama Monica terpancar, bola matanya sesekali melirik langit-langit rumah, tersekat senyum di bibir merahnya, pikirannya melayang ke angkasa membawa tubuhnya serasa spa di salon ternama. Tak merasa bersalah sedikitpun dengan perkataannya. Tak merasa dia tidak bersyukur.
"Apa?" Teriak papa Villareal.
Teriakan itu seolah membuat rumah mewah mereka hendak rubuh, memecah khayalan mama Monica, keningnya mengkerut seketika, dan kemudian dia mendekati suaminya duduk di sofa empuk.
"Iya, Bill Gates, pa..."
"Kawin sana sama Bill Gates!"
Kemudian papa Villareal menggerendeng dalam hatinya, "Dasar Matre!"
Mama nyengir, "Kan sudah almarhum pa?"
"Cari aja kuburannya!" Bentak papa Villareal sambil menaikkan kacamata hitamnya yang melorot ke hidung.
Papa terdiam kesal, beberapa detik kemudian berkata, "Mama belanja lagi? Kemarin kan baru aja belanja habis satu juta. Mau belanja apa lagi sih ma...?"
"Bedak, lipstik, hand-body, pelembab, pembersih, minyak wangi. Hmm...terus rambut pirang palsu", jawab mama sambil menghitung jari tangannya menyebutkan satu per satu.
"Itu tuh biar bisa kayak bu Arlin, tetangga sebelah tuh, masak mama kalah sih perfomence-nya sama dia. Pakai rambut pirang palsu biar mirip Madonna, pa", lanjut mama Monica sambil matanya mengerling.
Kedua telinga papa Villareal seolah keluar asap panas.
"Istri papa itu Monica bukan Madonna!"
"Ih, papa jadul ah! Itu tu Madonna artis luar negeri. Hey, Mr DJ put record on I wanna dance with my baby...ah, ah, ah" Mama Monica menyanyikan lagunya Madonna sambil menirukan gaya artis berambut pirang itu.
Lagi-lagi, papa Villareal menggerendeng dalam hatinya, "Kalo Madonna sih kulitnya bule jadi pantes rambutnya pirang, lha kalo mama kulitnya hitam gitu, jadinya bule gosong".
Papa Villareal tersenyum geli sendiri, membayangkan istrinya yang glamor itu bergaya ala Madonna dengan kulit hitam dan wajah pas-pasan.
"Minta uang lagi pa...", Mama Monica merengek.
"Tabungan belanja mama apa sudah habis? Kemarin baru aja dikasih 2 juta. Buat belanja kemarin juga habis satu juta. Harusnya kan masih satu juta? Hayo, ngaku buat beli apa lagi?" Papa Villareal memaksa.
Mama gigit jari. Bingung mulai menyerang. Sebelumnya berkali-kali sudah bohong uang belanja buat beli ini-itu yang tak jelas. Kali ini nggak bisa bohong lagi.
"Yang sejuta buat beli baju satu setel pa..., ups!" Mama nyengir.
"Katanya buat belanja persediaan dapur sebulan..., mama ini gimana sih?" Papa Villareal naik darah.
Mama Monica tertunduk bersalah.
"Nah, itu namanya mama juga bohong ditambah korupsi. Korupsi satu juta! Baju sudah lima lemari masih saja kurang!"
Papa menengok jam tangan. Jam 08.00 tet.
"Aduh, telat! Jam 8 itu jam masuk kantor. Mama sih juga nggak ngingetin. Tahu suaminya gila berita, udah jam kantor tiba, eh kagak ditegur. Meski papa bos di kantor, papa juga harus memberi contoh disiplin waktu pada anak buah papa" Papa Villareal segera mengambil jas, tas kantor, dan kunci mobil cling-nya. Kemudian membuka pintu rumah tanpa cipika-cipiki layaknya selebriti seperti biasanya. Beberapa detik kemudian hanya terdengar suara klakson mobil.
Mama mengejar dan berteriak, "Pa, uang belanja mama mana?"
"Ah, mama sih korupsi satu juta!" Jawab papa di dalam mobil yang melaju.
"Papa juga korupsi. Korupsi waktu!" Gerutu mama sambil bibirnya manyun.
Media massa baik cetak maupun elektronik heboh membahas korupsi, menjadi headline dan berita unggulan. Namun terkadang mungkin kita juga melakukan korupsi kecil yang tak tersadari, waspada! Korupsi besar itu masih berlangsung menggerogoti kemakmuran rakyat, bahkan terkadang sudah menjadi sebuah sistem yang sulit terjangkau hukum. Untuk menjadi kaya, hanya "satu kata" yang selalu mendesis dalam hati dan pikiran mereka, korupsi, korupsi, korupsi, korupsi, korupsi, korupsi, korupsi.
Masih, mereka masih korupsi.
***

Cerpen ini pernah saya masukkan SoloPos, tapi belum dimuat sampai sekarang, he he he...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar