Dibuat oleh: Anjar Pujiyanti
Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tak tahu dimana aku sekarang. Aku tak tahu bagaimana aku bisa di sini. Aku tak tahu sudah berapa lama aku di sini. Aku tak tahu siapa dia dan siapa mereka yang sesekali berkelebat di bola mataku. Bahkan aku tak tahu siapa diriku. Aku tak tahu. Sungguh aku tak tahu.
Yang aku tahu hanya sebuah sakit yang menusuk ulu jiwa. Yang aku tahu aku hanya menggendong boneka beruang merah jambu. Yang aku tahu boneka ini sangat berarti bagiku. Yang aku tahu terkadang berdenging keras jeritan maut yang menggetarkan gendang telingaku. Yang aku tahu saat jeritan itu terdengar aku berteriak histeris sangat kuat. Yang aku tahu kemudian beberapa orang berbaju putih datang dan memberikan suntikan setelah itu gelap terasa.
Hal ini seolah hanya isapan jempol belaka. Tapi aku benar mengalaminya. Berdesing di telingaku jeritan maut yang merintih kesakitan. Gema jeritan itu seperti suara orang-orang yang aku sayangi. Tapi entahlah siapa. Sesekali tersebut sebuah nama. Nama itu tak asing sepertinya, aku sering mendengar nama itu. Seperti namaku ah tapi aku tak punya nama. Aku tak tahu namaku siapa.
Setiap pagi tiba aku selalu duduk termenung di kursi tua itu. Sebuah kursi peyot tertelan masa di sudut ruang. Mata sayuku memandang ke arah rumput kuning yang nyaris mati di luar sana. Mata sayuku terus memandang bahkan sampai seharian. Aku coba mencari jawaban. Sebuah jawaban besar. Rambutku bosah basih. Wajahku dekil. Bau badanku pun tak karuan. Mungkin orang akan muntah jika mendekat. Tapi aku tak pernah berfikir mengenai fisik. Aku hanya tahu bahwa aku tak tahu. Entahlah.
Aku masih berada di sudut ruang sampai senja tiba dan bahkan sampai malam menjelang. Aku merasa nyaman duduk di kursi tua ini. Hanya boneka beruang merah jambu ini yang menemani. Boneka ini bahagia ketika ku ajak bicara. Boneka ini tersenyum ketika ku ciumi. Boneka ini seperti mengingatkanku pada seseorang. Boneka ini sangat berarti meski harganya tak seberapa. Ya, boneka ini mengingatkanku pada seseorang. Seseorang siapa? Aku tak tahu. Yang jelas seseorang yang sangat istimewa mengisi relung jiwa. Tapi siapa? Aku mencari jawaban, jawaban, dan jawaban. Aku terus mencari jawaban. Ku tatap lagi rumput kuning yang nyaris mati. Aku tatap mereka dengan penuh tanya dan harap. Aku yakin mereka akan bisa bicara. Aku terus menanti agar mereka bicara. Aku berteriak keras “Siapa? Siapa? Siapa?”
Warna kuning rumput itu kemudian tertelan bayangan dinding pagar yang tinggi. Mereka berubah hitam gelap. Mereka tak memberiku jawaban bahkan cuma sekata pun tidak. Tidak sama sekali. Mereka diam hanya sesekali daunnya bergerak terhembus angin. Namun aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Tapi aku yakin mereka akan bicara. Bicara padaku untuk memberikan sebuah jawaban. Jawaban atas pertanyaan “Siapa?”
Aku terus berteriak histeris “Siapa?”. Tiba-tiba aku telah berbaring di atas kasur sempit. Tangan dan kakiku terikat kuat. Aku tak bisa bergerak. Aku tak bisa. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Lagi-lagi hanya boneka beruang merah jambu itu yang menemani. Dia berada di samping kanan perutku. Ada seseorang yang menyodorkan boneka itu ke atas perutku. Boneka itu melontarkan senyum yang mengambang kepadaku. Kedua bola matanya berbinar memancarkan rasa cinta. Aku pun perlahan mulai tenang setelah melihat boneka itu. “Sayang, ayo bobok sama aku ya sudah malam nih, bobok ya? Jangan nakal ya? Cepet bobok biar nggak digigit nyamuk. Di sini banyak nyamuk nakal kayak orang-orang yang berbaju putih itu nakal semua. Bobok ya? He he he….”. Boneka beruang itu menyahut dengan senyum lembut.
**
Lagi, aku duduk di kursi tua peyot. Ku tatap rumput kuning itu. Rumput itu perlahan berubah menjadi warna coklat. Mungkin mereka mau memberiku jawaban. Aku pandang mereka dengan mata sayuku. Setiap hari aku memandangnya, setiap hari pula aku mencari jawaban dari sebuah tanda tanya besar ini. Setiap minggu ah atau setiap apalah aku tak tahu ada bayangan seseorang di kedua bola mataku. Seseorang itu yang pasti seorang laki-laki. Dia selalu mengajakku berbicara. Tapi aku tak mengerti apa yang keluar dari mulutnya. Aku hanya mengelus-elus boneka beruangku. Laki-laki itu sepertinya aku kenal tapi aku tak tahu. Rasanya sering sekali dia mendatangiku.
Aku selalu duduk di sini, di kursi peyot ini. Terkadang aku merasakan hantaman kecil dikepala, dipundak, dan dikaki. Seperti ada orang yang mencoba menyakitiku. Kemudian aku mendengar gelak tawa yang dahsyat memekakkan gendang telingaku. Lalu mulut yang menggaungkan tawa itu mengeluarkan ludah yang tertumpah di pahaku. Aku ngamuk saat suatu ketika ludah itu mengenai boneka beruangku. Namun aku hanya terdiam jika ludah itu mengenai bagian tubuhku. Aku pun tak tahu mereka siapa. Yang aku tahu baju mereka sama denganku.
Terkadang berkelebat orang yang lalu lalang berbaju sama sepertiku. Mereka berjalan kesana kemari. Mereka tertawa dan tersenyum sendiri. Mereka bukan siapa-siapa tapi aku selalu menyaksikan mereka setiap hari. Sesekali monster-monster berbaju putih itu singgah di mataku. Aku tak tahu apakah ini yang disebut rumah sakit jiwa.
Ah rumput kuning itu sekarang sudah berubah coklat semua. Mereka sepertinya mau memberiku jawaban. Aku beranjak dari kursi tuaku. Ku coba mendekati rumput-rumput itu. Aku jongkok menyentuhnya dengan mesra. Aduh, tiba-tiba boneka beruangku jatuh. Segera kumembersihkannya karena aku tak mau boneka kesayanganku itu kotor. Aku tak mau. Saat kusentuh mesra rumput itu mereka tak bergerak sedikitpun. Mereka sudah mati, apa benar mereka sudah mati? Kenapa rumput itu tidak dikubur seperti manusia? Ku sentuh lagi dan tiba-tiba bergoyang seperti ada yang meniup. Kemudian perlahan mata sayuku beradu pandang dengan sepasang bola mata bak binar yang meletup-letup dan bersemangat di dalam retinanya. Kemudian sang pemilik mata indah itu meniup pelan lagi rumput coklat itu. Aku tatap sang pemilik mata indah itu dengan pandangan sayu.
Lagi, dia mulai mengajakku bicara. Tapi aku tak mengerti apa yang dia bicarakan. Lagi-lagi orang inilah yang selalu mendatangiku. Laki-laki itu adalah laki-laki yang memiliki mata indah. Aku hanya menatap mata indah itu. Aku tidak melihat mulutnya bergumam tak karuan. Aku hanya menangkap beberapa kata yang menggema di telinga “Gempa”, “Pernikahan”, “Ibunda Ayahanda”, “Empat tahun lalu”, “Mati”.
Namun yang tergema dan merasuk ke jiwa hanya kata “mati, mati, mati, mati, mati…”. Bingung mulai merasuki. Bingung yang sangat dahsyat. Laki-laki itu kemudian mengelus boneka beruangku dan berbisik mesra, “Ini pemberian dariku dik, empat tahun yang lalu sehari sebelum ibunda dan ayahandamu meninggal karena gempa” . Kalimat itu mulai terdengar jelas dan merasuki relung jiwa. Aku tercengang sepuluh menit. Lidahku terasa kelu berucap. Rasanya sudah amat sangat lama tak berkata. Ku pandang lekat-lekat wajah lelaki itu, “Mas Bram, kaukah itu?”. Seulas senyum bahagia dan lega terpancar dari wajah tampannya, “Iya, istriku. Cukup empat tahun saja kamu di sini. Ikhlaskan kepergian ibunda dan ayahanda. Kumohon kembalilah padaku. Tak ada yang bisa menggantikanmu. Aku sangat mencintaimu sayang...” . Tangis bahagia pecah dari sang pemilik mata indah, suamiku, Mas Bram.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar