Saat menjemput anakku sore itu di
sekolah. Memang saya terasa lelah habis bekerja. “Bu, mbak Dina jadinya terpilih ikut lomba”,
kata guru anakku. Aku tersenyum mengambang dan berkata “Oh, ya?”. Lelahku
seakan berkurang.
Aku menenteng tas anakku dan membawa
keranjang bekalnya. Sementara si kecil berdiri di sampingku sambil sesekali
menarik-narik telunjukku dan bersikap manja. Nampaknya dia menyimak
pembicaraanku dengan bu gurunya itu. Aku langsung menanyakan teknis detail
mengenai lomba. Ternyata lomba memisahkan biji-bijian.Ya, lomba yang terkesan sangat
sederhana.
Jadi, teknisnya ada 3 jenis biji yaitu kedelai
hitam, kacang tholo, dan jagung. Ketiga jenis biji itu dicampurkan di sebuah
tampah. Kemudian disediakan tiga botol ukuran sekitar 300 ml. Nah, tugas
peserta lomba memilah dan misahkannya. Trus memasukkan biji-biji itu pada tiga
botol yg disediakan berdasarkan jenisnya.
Aku mengira-ngira, lomba ini sengaja
disetting untuk melatih ketelitian dan kecepatan peserta lomba dalam memisahkan
biji. Dan pastilah kuantitas dan teknik pemisahan jadi item yg dinilai. Pikiranku
mulai berkelana meraba-raba sebuah teknik yg tepat untuk si kecil.
Tak lama kemudian, baru sampai depan
gerbang sekolah, si kecil berceloteh, “Mi, ayo beli biji-bijian!”. Dia mulai
merengek tak karuan. Semangatnya mulai meletup-letup. Melihat hal itu, saya
merasa harus lebih bersemangat daripada si kecil. Pihak guru meminta agar
latihan sendiri di rumah, sama orangtuanya.
“Ayo mi, beli biji-bijian!”, si kecil
masih merengek lagi. Saat masih perjalanan dari sekolah ke rumah. Batinku
awalnya mengatakan “ah, nunggu ayahnya
si kecil pulang dulu. Biar dianterin, kan jalannya rame banget kalau sore-sore
gini. Nyebrangnya lama”.
Tapi si kecil masih kekeh
untuk beli biji-bijian sore itu juga. Yaaah..saking semangatnya itu. Akhirnya
ku jawab, “Iya mbak..., tapi kita pulang dulu ya. Naruh tas. Habis itu beli”.
Sejurus kemudian, dia tersenyum lebar dan semakin riang.
Ku tengok jam dinding rumah. Jam 16.50.
Akhirnya ku putuskan untuk beli saat itu juga. Kalau nunggu suami nganterin,
mungkin malam harinya, dia baru bisa, karena sore itu suami belum pulang.
Akhirnya, aku beli ketiga jenis
biji-bijian itu. Sepanjang perjalanan menuju toko, si kecil ngomong terus tak
habis-habisnya. Sesampainya di rumah, si kecil langsung minta latihan.
Berbagai teknik ku coba terapkan.
Pokoknya aku mencari teknik yg cepat sesuai kondisi si kecil. Mulai dari kata
gurunya, di ambil yg sejenis kemudian digengggam di tangan kirinya. Baru
kemudian dimasukkan ke botol. Sampai teknik satu-satu. Kalau teknik yg genggam
ternyata si kecil tidak bisa cepat karena begitu genggaman di tangan kirinya
banyak biji, satu dua terjatuh. Nah inilah yg membuat lama. Dia malah sibuk
mengambili biji-biji yg terjatuh tadi.
Akhirnya, seiring bergantinya hari.
Kuputuskan untuk memakai teknik satu satu. Ngambil satu biji yg sejenis trus
langsung masuk ke botol. Satu yg sejenis masuk botol. Begitu seterusnya.
Ternyata teknik ini lebih aman, tidak terjatuh bijinya. Si kecil juga bisa
semakin cepat dan biji yg berhasil dipilahkan semakin banyak.
Sabtu, 19 April 2014
Jauh hari saya sudah mengajukan cuti
kerja sehari pada tanggal itu. Sengaja, agar bisa menemani si kecil lomba.
Memang lomba yg sederhana. Sekali lagi, sederhana. Bahkan sangat
sederhana. Ini hanya lomba dalam rangka
Gebyar PAUD se-kecamatan. Ya, hanya tingkat kecamatan, bukan tingkat kabupaten.
Bagi sebagian ibu yg anaknya sudah besar, mungkin akan menganggap hal-hal
seperti ini biasa. Tapi, tidak bagi saya, sebagai seorang ibu muda.
Punya anak yang pertama dan ikut
lomba merupakan sensasi tersendiri. Pagi
itu aku menyiapkan satu per satu bekal si kecil dibantu suami tentunya. Walau
agak terburu-buru tapi sangat kunikmati pagi hari menjelang lombanya.
Saya dan suami sepakat, kalau saya
tidak muncul saat lomba berlangsung. Kalau saya menyaksikan lomba, dari
kejauhan supaya si kecil tidak tahu kalau saya ada. Memang si kecilku itu
sering berlagak manja kalau sama saya. Kami hanya khawatir kalau-kalau dia
memakai rumusnya lagi “pokoknya sama umi” itu. Apa-apa kudu sama umi.
Nah, akhirnya si kecil diantar suami
ke sekolah. Biar berangkat bareng-bareng sama teman-temannya yg lain yg ikut
lomba beserta gurunya. Sementara saya di rumah, melakukan pekerjaan rumah
tangga yg belum kelar. Sambil menunggu dijemput suami menuju tempat lomba. Saya
menyempatkan shalat Dhuha sejenak, tentunya mendoakan si kecil yg akan maju lomba.
Agar diberi kemudahan, kelancaran, dan menang.
Tak lama kemudian, suami datang. Aku
tak berhenti melontarinya berbagai pertanyaan. Mulai dari Dina gimana, udah
sampai tempat lomba belum, udah ini belum, udah itu belum, hah pokoknya banyak.
Biasa agak cerewet kalau ngomong sama suami, hehe.
Yak, saya diboncengin suami menuju
tempat lomba. Tak jauh sih dari rumah. Boncengan berdua walau sudah punya anak
satu, alhamdulillah masih terasa mesra bersamanya.
Nyampai di tempat lomba. Aku mulai
menikmati suasana. Terdengar suara celoteh anak-anak PAUD. Tingkah dan polah mereka menggemaskan. Sempat
melihat ada yg mau ikut lomba melukis pake cat air. Tapi si anak malah melempar
cat itu, dan berkata “Nggak mau!”. Geli rasanya melihatnya. Yaaahh..begitulah
dunia anak-anak. Eit terlihat juga banyak guru
PAUD yg pakek jilbab-jilbab besar. Adem rasanya di hati. Tapi
saya juga melihat ada peserta
dari PAUD Kristen.
Tak lama kemudian, lomba memisahkan
biji-bijian pun berlangsung. Salah seorang panitia memanggil sebuah nama,
“Kamila Dinnaila Mujahid”. Wah itu anakku. Aku langsung berdiri bersemangat
sambil tersenyum bahagia. Panitia mulai mengarahkan anakku menempati tempat yg
disediakan.
Ku perhatikan tubuh anakku paling
kecil di antara peserta di kloternya. Ada 14 peserta yg dibagi menjadi ehmm
kalo nggak salah 3 kloter. Saat itulah aku menahan haru. Aku mengedip-ngedipkan
mata agar air mataku tidak tumpah. Malu ah dilihat orang, masak mewek di tempat
ramai. Malu juga kalo-kalo suami tahu. Hmmm...mungkin aku agak lebay tapi
itulah yang saya rasakan. Sebuah letupan kebahagiaan seorang ibu.
Tak lupa, selama waktu yg disediakan
panitia untuk lomba itu, aku tak berhenti berdoa. Sambil menyaksikan si kecil
melakukan lomba. Yah, waktunya hanya 5 menit untuk memisahkan biji-bijian itu.
Sementara suamiku sibuk mengabadikan momen itu dengan handphonenya. Mulai
potret-memotret hingga memvideo.
Waktu hampir habis. Saya sempat agak
was-was tapi memasrahkan semuanya pada Allah. Kulihat peserta nomer 4 terlihat
biji-bijiannya melebihi biji-bijiannya anak saya. Ku lihat lagi ada seorang ibu
yang mendekati anaknya kemudian membantu menyodorkan ketiga botol untuk
anaknya. Hah, tapi biarlah. Saya hanya menyaksikan dari agak kejauhan.
Setiap gerak-gerik anakku
kuperhatikan secara detail. Dia memakai teknik satu-satu yang kuajarkan. Lima
menit sudah. Panita berteriak, “Waktunya sudah habis!” dan diikuti tepuk tangan
yg riuh. Anak saya kaget, dan menumpahkan kembali isi botol ke dalam tampah.
Artinya biji-bijian yg sudah dikumpulkan di botol pertama ditumpahkan lagi.
Kontan saya menyesal tindakan anakku
itu. Sudah susah-susah memasukkan eh ditumpahin lagi. “Aduh, gimana mbak?”,
batinku. Tapi saya berpikir, “Ah sudahlah!”
Karena insiden itu, akhirnya saya
pikir mungkin anak saya tidak menang. Kalah. Tapi memang di awal kita sudah menyepakati
“yang penting berusaha, menang kalah urusan nanti”.
Lomba berakhir, ku sambut anakku
sambil menciumnya. Ku beri dia apresiasi atas apa yg sudah dilakukan. Meski
saya sama suami sempat saling ngobrol “kenapa nggak begini? Kok begitu?
Seharusnya pakek teknik ini mi...., bla bla bla”. Ujung-ujungnya ya “ah, sudahlah
nggak harus menang”.
Kami muter-muter menyaksikan lomba yg
lain. Ada lomba menangkap ikan, lomba bercerita, estafet, dan melukis.
Subhanallah, indah sekali dunia anak-anak. Sempat berpapasan beberapa guru anak
saya dan pengelola PAUDnya, menanyakan “gimana bu mbak Dina lombanya?”. Ku
menjawab awal dengan judul, “dramatis”. Sambil batinku berkata, “Sepertinya
tidak menang”.
Setelah puas muter-muter, kami
memutuskan untuk pulang. Acara sepertinya sudah usai. Pesimis tidak menang,
pulang ah kita. Nyampai rumah, saya masih terus mengapresiasi anak saya, saya
katakan bahwa dia anak hebat dan sebagainya. Walau agak nyesek dan batin
berkata, “sebenarnya umi pesimis, kamu kalah nduk”.
Beberapa jam berjalan, anak saya main
di rumah. Suami tidur di kamar. Saya menemani anak bermain sambil sesekali
menyambi pekerjaan rumah tangga. Tiba-tiba terdengar suara, dari pintu luar
“Mbk Dina, mbak Dina, mbak Dina”. Trus terdengar suara klakson motor.
Wah ternyata pengelola PAUD dan anak
ragilnya. Dia berkata dengan sumringah, “Mbak Dina juara dua!”.
Hahhhhhhhhhhhhhhhh?????? Saya sedikit tak percaya. Ternyata benar dan dia
membawakan hadiahnya.
Usai mereka pulang, aku langsung
membangunkan suami yg baru saja tertidur, dan berkata, “Yah, Dina juara dua!!”.
Suami saya terbangun dengan rasa sedikit tak percaya. Sebenarnya sama seperti
yg kurasakan.
Sementara anak saya senyum-senyum
menerima hadiahnya. Saya masih sedikit tak percaya, akhirnya aku sms gurunya ,
memastikan apakah benar anak saya menang juara 2 . Wah ternyata benar. Malah
dapat hadiah lagi dari PAUDnya.
Tak lama kemudian, saya dan anak saya
mengambil hadiahnya di PAUD. Dan beberapa guru mengucapkan selamat pada anak
saya.
“Yah, tahunya Dina menang, kita tadi
jane nggak usah pulang dulu ya?”, kataku pada suami. Maksudnya biar anak saya
sendiri yg menerima hadiahnya. He he he...
Yaaaahhh begitulah sepenggal cerita
catatan hati. Untuk anakku, “InsyaAllah, umi akan memberikan yg terbaik untukmu,
nduk. Rasa sayang ini semoga bak cahaya mentari yg selalu bersinar di hatimu,
selamanya”.